Refleksi

Dilema Din dan Dun

servant

 

Di kantor,

“Juk, solat dulu yok!”

“Ah, ntar aja lah, masih ada kerjaan ini.”

 

Di kampus,

“Ssst, solat dulu yuk!”

“Bentar deh, ini tanggung dosennya lagi ngejelasin.”

 

Di laboratorium,

“Ma, solat dulu yuk.”

“Sebentar ya, serbuknya belum larut nih.”

 

And Soon…

Itu contoh saja. Saya dan anda pasti pernah mengalaminya, baik sebagai orang benar yang mengajak solat, atau orang benar yang sedang khilaf solat tepat waktu (gamau banget ngaku salah -.-). Galau sih kadang, mau solat dulu tapi kerjaan tanggung. Mau kelarin kerjaan dulu juga takut (udah pasti) dosa. Tapi… ya tapi gimana?? Banyak alasan dan excuse yang manusia bikin kalau sudah membela kepentingan dunia dibanding akhirat.

Bukan hanya tentang solat, begitupun puasa Ramadhan. Yap Ramadhan, bulan suci yang apapun ibadah yang kita lakukan di dalamnya nilainya akan dilipatgandakan menjadi 10. Tapi, karena satuan nilai 10 itu bukan rupiah, ringgit, maupun dolar, jadi banyak manusia yang cuek bebek, lupa, dan engga peduli dengan keistiewaan bulan Ramadhan. Bahkan nih, jangankan untuk menjalankan ibadah sunnah, yang wajibnya saja, iya puasa, banyak loh yang meninggalkan. Meninggalkan di sini dalam konteks disengaja ya, bukan karena sakit, safar, atau hal-hal lain yang memang diperbolehkan.

Ini kisah nyata yang saya dengar sendiri dari sumber yang tentu saja harus saya rahasiakan. Jadi, biasanya dia dan teman-temanya memang sengaja tidak puasa. Shock? Saya sih waktu dengar ini kaget, pake’ banget. Lah, kenapa engga puasa? Dia bilang, ruang tempat mereka kerja itu panas, sangat. Maklum operator pabrik. Istilah kerja memeras keringat itu mereka alami sendiri. Dia bilang, kalo mereka puasa, hausnya itu ampun-ampunan. Dehidrasi sudah pasti. Gerah apalagi.

Hmm, mungkin bagi sebagian orang alasan itu bisa diterima, tapi tidak bagi saya. Saya sih bingung, kalo puasa Ramadhannya bolong, mau diganti kapan? Secara mereka kerja di tempat itu, dengan posisi seperti itu bukan hanya di bulan Ramadhan. Mau nunggu resign atau dipecat dulu baru bisa qada puasa?

Terus gimana?

Ya menurut saya sih cari pekerjaan dan tempat kerja yang ramah lingkungan, ramah terhadap anda, dan ramah terhadap ibadah anda.

Tapi kan emang nyari kerja itu gampang?

Ya susah sih, tapi kan bukan engga mungkin. (Duh, semoga engga kualat karena ngomong kayak gini)

Teringat pertanyaan yang pernah Ustadz Hasan lontarkan pada kami kala itu: Siapa anda?

Dokter? Bukan

Dosen? Bukan

Guru? Bukan

Mahasiswa? Murid? PNS? Bukan

Lalu Beliau bilang: Anda bukanlah nama anda, pekerjaan anda, jabatan anda, keluarga anda, apa yang anda punya, dan apapun itu. Anda, saya, kita semua adalah abdillah, hamba Allah. Dan sudah selayaknya seorang abdi akan berbuat sesuai dengan kehendak Tuannya.

Wallahu a’lam

 

ps: Terimakasih inspirasinya, Dek 😀

 

 

8 thoughts on “Dilema Din dan Dun”

  1. Sepakat dengan yang ini “menurut saya sih cari pekerjaan dan tempat kerja yang ramah lingkungan, ramah terhadap anda, dan ramah terhadap ibadah anda.”
    Jadi teringat pengalaman bekerja habis lulus kuliah dulu. Tepat di hari pertama kerja adalah hari pertama puasa, meskipun di bidang teknik yang kerjanya 24 jam masih bisa puasa full. Sebenarnya, masih banyak kok perusahaan2 yang mengakomodir pegawainya untuk beribadah. 😀

    Liked by 2 people

  2. Gk ada alasan untuk menggugurkan kwajiban. Krna hakekatnya akhirat adlah prioritas utama. Dunia cumia selingan. Jangan smpai gra2 tersibuk dg selingan, prioritas utama mlah tak terlakukan. Mantap 👍👍👍

    Liked by 1 person

Leave a comment