Refleksi

Masjid Ramah Anak (bag.2)

photo_2019-09-04_16-00-23

“Bunda, udah ajan Bunda. Abang mau ke mescid.”

Pagi itu subuh kami kembali dibangunkan oleh si kecil. Sejak dibiasakan untuk solat berjamaah di masjid, kami seolah punya alarm tambahan saat sudah masuk waktu solat. Bayi suci itu akan lebih dulu bereaksi terhadap kumandang adzan dibandingkan telinga-telinga kami yang mungkin sudah tertutup banyak kotoran. Dia juga yang dengan sukarela mengajak sang ayah untuk beranjak sejenak dari segala aktifitasnya, demi meraih keutamaan solat berjamaah di masjid.

Apa anak di bawah dua tahun ini sudah tahu tentang keutamaan solat di masjid? Apakah dia sudah paham bahwa solat adalah kewajiban sekaligus kebutuhan? Tentu belum. Tapi target kami sekarang memang bukan itu. Dengan dia terbiasa saja, kami sudah bersyukur. Apakah membentuk dia hingga titik saat ini cukup dengan menjentikkan jari? Tentu tidak, ini bukan sulap juga sihir. Ada usaha yang dilakukan berulang-ulang. Dan dengan merasa bahwa masjid adalah tempat yang aman dan menyenangkan, bagi dia sudah cukup menjadi alasan untuk tergiur kembali hadir ke masjid. MasyaAllah.

Ahmad, sulung kami, alhamdulillah dikenalkan solat berjamaah di masjid saat dia berusia satu tahunan. Dengan niat yang kami anggap baik tentunya, sedari dini dikenalkan dan didekatkan dengan masjid, dibarengi harap dan doa kelak ia menjadi sosok yang rindu dan cinta pada masjid, rumah Rabbnya. Tak hanya kami, saat menelisik sekeliling pun sudah banyak orangtua (generasi muda terutama) yang seolah sepakat tanpa kata untuk mengenalkan masjid pada generasi penerus mereka sedari dini. Alhamdulillah. Hanya saja, ada yang mengusik benak saat di awal kami memutuskan mengajak Ahmad ke masjid pada waktu solat wajib berjamaah, yaitu tentang keramahan masjid pada anak-anak kecil. Belakangan, bertambah resah saat kiri kanan berpendapat bahwa belum saatnya anak bayi di bawah sekian tahun diajak dan dibiasakan ke masjid, bisa menganggu kekhusukan jamaah lain dan alasan-alasan lainnya. Kalau ini, saya baru tahu.

Tentang masjid ramah anak, ada cerita bahwa masjid di lingkungan kami tinggal cukup “horror” terhadap anak-anak kecil. Sebelumnya saya pernah membuat tulisan, tentang seseorang yg di masa kecilnya pernah punya kenangan tidak nyaman tentang masjid, dan membekas hingga dia dewasa. Sehingga khusus untuk masjid tersebut, agak enggan untuk ia hampiri.

Itu jugalah yang kami khawatirkan terjadi pada Ahmad. Tapi Bismillah, setelah dimulai dan dijalani, Alhamdulillah yg ditakutkan tak terbukti. Malah respon positif yang didapat. Banyak DKM dan jamaah yang senang dengan kehadiran bayi ini. Pun anak-anak kecil yang sering hadir di masjid, selalu menyapa dan menanyakan jika sehari saja Ahmad absen solat di masjid. Belakangan, bertambah pula bapak-bapak yang “berani” membawa juniornya ikut solat berjamaah. Alhamdulillah.

Lalu suatu hari, di hitungan lebih dari seratus kalinya dia ikut ke mesjid, yg di awal dikhawatirkan akhirnya terjadi. Ada seseorang yang berusia tua, memiliki amanah tinggi menegur sang Ayah karena tingkah Ahmad. Entah apa jelasnya yang membuat dia berang. Menurut sang ayah, Ahmad bertingkah biasa saja. Kecuali dia, jamaah lain pun bersikap biasa saja. Dan yang lucu, frekuensi Ahmad bertemu dengan orang ini saat solat di masjid, sangat jarang. Ngerti kan maksudnya?

Mendengar ceritanya saja aku meradang, apalagi jika ada di tempat. Itu baru ayahnya yang ditegur dengan tidak beretika. Apalagi kalau sulung kami yg didamprat, kupastikan aku tidak tinggal diam. Bagaimana tak sedih, dia yang berangkat dengan sukacita, menyambut adzan dengan bahagia, minta ke mesjid dengan antusias, lalu di tempat yg dia cintai, mendapat perlakuan yg tak semestinya.

Kemudian terjadi lagi, aksi kejar-kejaran dan bentakan pada anak-anak kecil lain, oleh orangtua yang merasa bahwa tindakannya itu benar. Padahal Rasulullah saja betapa memuliakan anak kecil, tidak pernah ada kisah yang menceritakan beliau bersikap kasar kepada anak kecil, terlebih melarangnya ikut ke masjid. Atau saya yang kudet?

Hanya satu bentakan, hanya satu hardikan, hanya satu lengkung bibir yang tersenyum masam, itu bisa membuat luka di kertas-kertas kosong itu. Memangnya tidak dholim membunuh fitrah mereka untuk mencintai masjid? Siapa yang kemudian hari memakmurkan rumah-rumah Allah saat para tetua sudah mencapai batas usia? Apakah bisa dengan instan mereka dibentuk di usia yang tak lagi muda, untuk memakmurkan masjid? Sedangkan saat mereka sedang cinta-cintanya, sedang asik-asiknya, malah dilarang dengan berbagai alasan yg dangkal.

Khawatir mengganggu kekhusyu-an solat?

Perkara solat khusyu, memangnya tanpa teriakan dan hilir mudik anak-anak itu sudah menjamin solat kita khusyu? Nyatanya solat sendiri di tempat yang sunyi pun otak kita masih bisa melanglang buana kemana-mana. Jangan melulu salahkan faktor luar, coba cek kembali ke dalam diri. Mungkin iman kita yg sedang kendur.

Khawatir merusak barang-barang?

Perkara takut merusak properti masjid, lebih berharga mana menjaga barang-barang yang bisa kembali dibeli atau hati anak-anak yang suci? Barang rusak bisa dicarikan pengganti, hati yang retak itu sulit menyatu kembali.

Atau khawatir yang lain? Seberbahaya apa sih anak-anak itu, sampai-sampai kehadirannya begitu jadi momok yang menakutkan?

Sebagian orangtua mungkin memilih/terpaksa karena keadaan untuk tidak/belum membawa bayi-bayi mereka ke mesjid. It’s ok, Itu pilihan. Tapi tidak perlu julid juga kalau ada anak-anak yg mondar-mandir ke mesjid. Bisa jadi emang anaknya mau, sudah siap dan bisa dibawa-bawa, plus orangtuanya juga siap bertanggung jawab kalau terjadi kasus anaknya bikin “masalah”. Daaaan, jatah usia kita enggak tau sampai kapan bisa membersamai mereka. Sama seperti ghaibnya kapan kita bisa hidup dan ibadah dengan tenang-tenang saja seperti sekarang. Ini juga salah satu pertimbangan kami mengenalkan masjid pada anak sedari dini.

Orangtualah yang wajib mendidik anak untuk bisa beribadah dengan tertib di masjid. Kalau Bahasa sekarang mah “Anaknya disounding dulu atuh sebelum diajak ke masjid, biar gak bikin rusuh”.  Betul banget, setuju. Tapi itu baru satu urusan. Ada urusan lain, yaitu menjadi lingkungan yang mendukung untuk terciptanya rumah Allah yang nyaman dan aman untuk anak-anak. Keduanya sama-sama penting dan dibutuhkan.

Titik teu make koma, bisi saya ikutan julid. Entar malah julid berjamaah.

Eh, atau tulisan di atas sudah termasuk tulisan julid?

Leave a comment