Journey

Birth Story (VBAC)

Muhammad Ibrahim Alfatih 301017

Khairunnisa Asma Azizah 191119

Menjadi mom of two dalam rentang waktu 3 tahun pernikahan adalah sesuatu yg luar biasa bagiku. Tak pernah terbayangkan sebelumnya bahwa cita-cita untuk menikah setelah lulus kuliah akan benar-benar Allah kabulkan. Nyatanya melalui pernikahan Bersama jodoh yang Ia pilihkan, Allah sertakan bonus-bonus tak ternilai. Menjelang tahun pertama, Allah karuniakan kami jundi kecil yg diberi nama Muhammad Ibrahim Alfatih. Lalu di awal tahun kedua, diundang-Nya kami untuk berkunjung ke Baitullah. Sepulang umroh, lagi diberi-Nya kami kejutan akan hadirnya calon adik bagi Abang Ahmad di dalam rahimku. Alhamdulillah Khairunnisa Asma Azizah lahir dengan sehat dan selamat menjelang usia pernikahan kami yg ketiga.

Berbeda dengan abangnya yang lahir melalui operasi caesar, Allah karuniakan Asma lahir normal. Pengalaman pertama melahirkan dengan SC tak membuatku trauma, alhamdulillah. Pun omongan-omongan negatif tentang ibu yg bersalin dengan SC tak terlalu kuambil pusing. Sakit hati pasti ada. Tapi yang kutahu, aku sudah berjuang untuk melahirkan Ahmad dengan normal. Hanya saja, kurangnya kepasrahan pada Allah, terlalu bergantung pada manusia, pun ilmu yg sangat minim mengantarkanku ke meja operasi di tengah perjuanganku. Mungkin apes bagi sebagian orang, sudahlah mengalami kontraksi hingga bukaan 5, akhirnya dibedah pula. Tak apa, aku bangga pada diriku, setidaknya Allah izinkan aku untuk merasakan perjuangan melahirkan seorang ibu, meski tidak sampai garis finish.

Kabar kehamilan kedua ini membuatku banyak cemas. Berbeda dengan si ayah, segala kekhawatiran ia bungkus dengan syukur dan sumringah. Aku mana bisa. Yang terpikirkan adalah nanti bagaimana. Terutama tentang Ahmad. Ia belum genap 1,5 tahun, bagaimana dengan memenuhi hak ASI-nya selama aku hamil? Bagaimana dengan rencana toilet trainingnya? Bagaimana menyiapkan dia menjadi seorang abang? Bagaimana kalau nanti begini-begitu? Bagaimana jika aku melahirkan normal pasca SC dengan rentang waktu hanya 2 tahun?

Allah yg Maha berencana (ternyata) memberikan jalan-Nya sendiri. Dia mudahkan ketika akhirnya kami terpaksa harus menyapih Ahmad lebih awal. Dia mudahkan ketika kami memutuskan untuk memulai toilet training sebelum adiknya lahir. Dia mudahkan Ahmad untuk memahami bahwa ada makhluk bernyawa di perut bundanya yang kelak akan lahir dan menjadi adiknya. Allah yang beri semua kemudahan, Allah yang berikan ia pemahaman melampaui anak seusianya. Masyaallah.

Selama mengandung Asma, ada khawatir yang besar tentang bagaimana proses persalinannya kelak. Meski ia anak kedua kami, bagiku ia akan menjadi pengalaman pertama bersalin secara normal. Kuat azzam kami untuk mengusahakan bersalin normal dan tak mengulang SC. Bukannya tak peduli risiko VBAC tinggi, tapi yang kami tahu SC berulang lebih tidak menyehatkan. Alhamdulillah melalui orang-orang di sekitar, Allah rejekikan kami untuk mengenal dan belajar ilmu prenatal AMANI Birth.

Dewasa ini, ada banyak metode dan ilmu tentang persalinan yang sangat mudah kita gapai untuk dipelajari. Berkembangnya ilmu medis pun menepis paradigma lama bahwa sekali seorang ibu melahirkan melalui SC, maka ia akan mengalami SC pada kelahiran anak berikutnya. Meski belum banyak, kini sudah ada nakes baik dokter obgyn maupun bidan yang melek dan siap membantu para ibu yang ingin ‘sembuh’ dari luka lama SC melalui persalinan normal.

Hal utama yang kupelajari melalui kelas prenatal AMANI birth adalah Allah menciptakan perempuan sesuai dengan fitrahnya, yaitu bisa mengandung dan melahirkan keturunan. Allah bekali ia sebuah tempat yang kokoh bernama rahim. Allah tiupkan ruh ke dalam segumpal daging, membentuknya dengan bentuk yang sempurna, menjaganya, maka Allah pula-lah yang akan mengeluarkannya. Kapan dan bagaimana, Allah yang tahu. Aku merasa tertampar. Ternyata selama ini aku setuju dan berlindung dengan pernyataan nakes yang menolong persalinan pertamaku bahwa bayi yang kulahirkan besar sehingga tidak bisa turun dan masuk ke panggul. Aku lupa, bahwa yang menciptakan bayi besar adalah Allah. Pun yang menciptakan panggul, Allah. Tak mungkin Allah menciptakan hal yang tak selaras, bayi besar dengan jalan lahir sempit. Tanpa ingin berandai-andai tentang takdir masa lalu yang telah Allah gariskan, pengalaman SC-ku kemungkinan adalah karena: aku yang kurang iman, kurang ilmu, dan juga kurang memberdayakan diri semasa kehamilan untuk menyambut kehadiran si bayi.

Lima pertemuan dalam lima pekan kami belajar hal yang (seharusnya bukan) baru. Kami dibawa dan dikembalikan untuk menadabburi ayat-ayat Allah, terutama tentang fitrah seorang wanita. Tak seperti aku, bagi suami ini bukanlah hal yang baru. Belakangan dia mengakui kalau bisa saja dia sendiri yang menyampaikan padaku apa saja hal yang disampaikan di kelas. Hanya saja ia sanksi kepalaku yang keras ini bisa menerima. Karenanya ia mendukung penuh saat ada orang lain yang ucapannya bisa aku ‘dengarkan’.

Selepas mengikuti kelas, fokus utama kami berganti. Jika pada kehamilanku sebelumnya kami rutin kontrol perkembangan janin tiap bulan, rutin konsumsi suplemen, maka di kehamilan kali ini kami fokus memperbaiki asupan gizi dan memberdayakan diri untuk rutin olahraga. Makanan yang masuk ke mulutku betul-betul diatur dengan menurunkan porsi karbo dan menaikkan porsi protein, rutin konsumsi kurma dan juga real food lainnya karena kami memutuskan untuk stop konsumsi suplemen. Minimal seminggu sekali, suami dan Ahmad menemaniku untuk berjalan-jalan di taman. Tiap hari diingatkan untuk berolahraga minimal duduk di gymball. Masyaallah, memang terasa berbeda. Kenaikan berat badan tak seliar ketika hamil pertama. Dulu berat badan naik hingga kurang lebih 16 kg, kali ini hanya sekitar 10 kg. Makin hari stamina pun makin terasa kuat.

Pekan ke-35 kami kembali kontrol ke dokter setelah 2 minggu sebelumnya berkenalan dengan bidan AMANI. Alhamdulillah bertemu dengan bidan yang ‘seguru seilmu’, yang pada obrolan kali pertama pun sudah klop. Tetap dikejar meski kliniknya jauh dari tempat tinggal kami. Kami memutuskan berburu bidan AMANI dan menjadikannya plan A sebagai penolong persalinan karena dirasa selama kontrol dengan dokter obgyn, aku masih merasa gamang dan kurang klop dengan dokter-dokter yang ditemui, meski kesemuanya pro normal dan bisa bantu menangani Vaginal Birth After Cesarian (VBAC).

Di pekan ke-35 itu dokter menyatakan BB janin kurang sedikit (3 ons) dari seharusnya. Aku disarankan untuk memperbanyak asupan dan kontrol 2 minggu kemudian. Nyatanya, aku terlalu bahagia. Porsi dan variasi makanan yg sebelumnya telah diatur sedemikian rupa, akhirnya bubar jalan. Porsi karbo bertambah dan cemilan manis-manis kulahap demi meningkatkan BB janin. Dan berhasil! Pekan ke 37 berat janin naik drastis melebihi BB seharusnya. Naik 8 ons, sodara-sodara!

Sepulang check up, aku jadi tidak semangat. Baru minggu ke 37 tapi BB sudah 3,1 kg. Bagaimana kalau si bayi tertakdir lahir di pekan ke 40 atau lebih? Sedangkan cita-citaku bisa VBAC, yg dengan artian berdasarkan pengalaman BB bayi tak boleh lebih dari BB ahmad saat lahir, 3,88kg. Selain itu, dokter pun memvonis ketebalan Segmen Bawah Rahimku (SBR) tipis, yaitu hanya 2,5mm. Dia pun berharap semoga si bayi bisa lahir segera, dan menyarankan untuk kembali kontrol 1 minggu kemudian jika si bayi belum lahir juga.

Suamiku berusaha menenangkan. Mengingatkan bahwa apapun yang terjadi nantinya, Allah yang mengatur. Dan apa-apa saja ikhtiar yang dilakukan selama ini, insyaallah tidak akan sia-sia. Ia mengatakan, jika dengan kontrol ke dokter malah membuatku tidak tenang dan tidak bahagia, maka tidak usah didatangi lagi. Fokus saja mengoptimalkan ikhtiar dan pasrahkan hasilnya pada Allah.

Aku lalu berkonsultasi via WA dengan bidan dan pengajarku di kelas prenatal. Seperti kata suami, jawaban keduanya menentramkan. Bagi mereka, vonis dokter seperti yang aku alami adalah ‘biasa’. Dan sudah banyak ibu yang berhasil melahirkan normal dan ‘mengingkari’ vonis-vonis dokter tersebut, dengan izin Allah.

Dua hari selepas kontrol dengan dokter, aku mulai merasakan mulas. Senin sekitar pukul 9 malam kontraksi mulai terasa. Memang iya kami berharap Allah izinkan bayi kami untuk segera lahir. Tapi riwayat kelahiran Ahmad yang lahir di pekan ke 40 membuatku ragu. Aku masih menduga mungkin yang kurasa masih kontraksi palsu, atau kontraksi awalan menjelang persalinan besok lusa atau pekan depannya lagi.

Qadarullah dugaanku keliru. Semakin malam kontraksi yang kurasakan semakin intens. Pada akhirnya tengah malam kami memutuskan untuk segera menuju klinik bidan, mengingat jarak yang harus ditempuh cukup jauh. Ahmad kami titipkan pada orangtua dan adik. Salah satu hal yang aku takutkan adalah meninggalkan Ahmad karena selama ini aku tak pernah berpisah jauh dan lama dengannya. Dalam kondisi normal, mendengar ia menangis dan memaksa ikut, besar kemungkinan aku pun akan menangis. Namun dalam kondisi mulas, aku hanya bisa fokus pada yang sedang dan akan aku hadapi beberapa jam ke depan. Masyaallah, proses pahit yang disiapkan Allah untuk mendidik aku dan juga Ahmad agar tidak terlalu saling ketergantungan.

Menjelang pukul 2 pagi, kami sampai. Asisten bidan langsung melakukan pengecekan bukaan, tekanan darah, pun HB. Ternyata serviks sudah mencapai bukaan 3 ke 4. Tekanan darah dan HB pun aman. Padahal sebelumnya sempat khawatir karena HB ku rendah. Masyaallah, alhamdulillah.

Selepas pengecekan, aku kembali turun dari ranjang periksa, memanfaatkan gymball yang sengaja kami bawa. Belajar dari pengalaman sebelumnya, aku tidak ingin hanya meringkuk kesakitan saat menikmati kontraksi yang makin kuat. Aku harus memberdayakan diri, aku harus terus bergerak untuk mengalihkan rasa sakit, aku harus terus bergerak membersamai si bayi yang juga sedang berjuang untuk keluar dari dalam rahimku.

Suara tahrim dari speaker masjid sudah mulai bersahutan. Rasa sakit yang kurasa semakin dahsyat. Di sisi lain kantukku mulai menagih jatahnya. Aku memutuskan untuk istirahat sejenak, berbaring dan tertidur di sela-sela gempuran rasa sakit. Entah apa yang suamiku rasakan, saat itu aku tak peduli. Sekarang baru terpikir, ia pun pasti merasakan lelah yang sangat. Tak sempat tertidur sama sekali, harus selalu siaga menemaniku, belum lagi mendapatkan ‘kekerasan fisik’ dari istri yang kesadarannya semakin berkurang. Belakangan dia mengakui saat itu dia gemetaran karena lapar. Haha. Sekarang saja bisa tertawa, padahal saat itu aku kesal saat dia terhuyung menopang beban badanku. Maaf ya.

Adzan subuh tiba. Bidan utama turun dan menggantikan peran suami untuk sejenak bersimpuh menghadap sang Rabb. Begitupun diriku, tertatih meringis mengambil air wudhu dan menunaikan kewajiban subuh. Tak sempat berlama-lama doa, aku kembali meringkuk mencari posisi ternyaman untuk mengurangi rasa sakit. Alhamdulillah, Allah rejekikan lidahku untuk tetap menyebut nama-Nya tiap sakit menyerang. Laa hawla wa laa quwwata illa billah.

Selepas subuh, bidan kembali mengecek kondisiku. Alhamdulillah serviks sudah mencapai bukaan 8. Lega, karena sepertinya garis finish sudah di depan mata. Nyatanya masyaallah. Sesuai dengan yang telah kupelajari di AMANI, inilah masa transisi. Masa ketika perempuan yang akan melahirkan merasakan takut, panik, dan ingin menyerah untuk segera mengakhiri perjuangan, tak peduli seberapa jauh ia berhasil menaklukan tantangan sebelumnya. Inginnya sudah, terserah mau diapakan, yang penting sudah tidak lagi merasakan sakit. Di sinilah pendamping persalinan sangat berperan penting. Terimakasih untuk partnerku yang telah memberikan dukungan terbaiknya, menguatkan dan mengingatkan untuk memasrahkan semua prosesnya pada Allah. Terimakasih untuk Ibu bidan yang dengan semangat memberikan sugesti bahwa sang bayi sebentar lagi akan lahir. Kata ‘sebentar lagi’ yang tidak benar-benar sebentar, tapi mampu menyuntikkan kekuatan agar aku tetap berusaha berjuang sambil berpasrah. Hingga Allah keluarkan bayi perempuan itu ke dunia, tepat pada pukul 6.38 WIB. Masyaallah.

Dialah Asma, Khairunnisa Asma Azizah. Bayi kedua kami yang memberikan pengalaman pertama melahirkan normal bagiku, pengalaman pertama memeluk bayi masih berlumuran darah dan cairan ketuban, dan pengalaman pertama bagi sang ayah memotong tali pusat. Melalui kelahirannya, Allah tunjukkan bukti bahwa aku, dan siapapun ibu mampu melahirkan dengan normal, biidznillah. Melalui kelahirannya, Allah sembuhkan sakitku, Allah tumbuhkan keyakinan dan kepasrahan atas segala sesuatu hanya pada-Nya. Alhamdulillah.

Catatan:

Dalam tulisan ini tidak ada unsur menjelekkan atau menyalahkan para ibu yang melahirkan melalui SC, proses SC, ataupun nakes yang membantu proses kelahiran melalui SC. Aku hanya ingin berbagi pengalaman, plus mengajak para ibu atau calon ibu untuk percaya pada kemampuan tubuh yang sudah Allah ciptakan, bahwa perempuan bisa melahirkan dengan normal. Its okay SC, saat ada indikasi medis yang benar-benar darurat. Hanya saja tren masa kini yang bermudah-mudah dalam melahirkan melalui proses SC, itu yang perlu direnungi.

Semoga tulisan ini menjadi wasilahku untuk tetap bisa menebar manfaat.

Semoga semakin banyak ibu yang ‘tertampar’ dan kembali kepada fitrah perempuan yang telah Allah gariskan.

Terimakasih pada:

  • Allah, yang telah menciptakanku dengan baik, memudahkan segala urusanku,
  • Suami, yang telah membersamai selama ini
  • Pengajar kelas prenatal AMANI Birth
  • Bidan penolong persalinan
  • Seluruh anggota keluarga yang tidak pernah nyinyir dan selalu mendukung keputusan yang kami ambil untuk VBAC

2 thoughts on “Birth Story (VBAC)”

Leave a comment