Fiksi

Bukan Dia tapi Dia (2)

hold my handSebelumnya…

Keputusan menerima lamaran seorang ikhwan malah membuat hati Ayi tak tenang. Ketakutan akan kehilangan malah menjadi hantu yang seharusnya tak bergentayangan di selaput hayalannnya. Lalu Farhan yang tak pernah sekalipun menghubunginya, dengan tiba-tiba memintanya untuk bertemu. Ada apa?

***

Ayi datang sendiri. Heru juga. Farhan menyusul. Ketiganya lalu duduk di meja yang sama. Ayi mengenalkan Heru ke Farhan, Farhan ke Heru. Suasana canggung. Heru berusaha untuk mencairkannya. Sesaat berhasil, namun kembali hening. Nyala lilin terseok ditiup angin malam kemarau. Alunan musik hasil jemari Yiruma mendendang lembut. Farhan membuka suara setelah seorang pelayan mengantarkan minuman mereka.

“Ayi, juga Mas Heru, ada yang ingin saya sampaikan tentang hubungan saya dengan Ayi.” Dia  menggantungkan  ucapannya.

“Ada seorang pemuda yang meminta izin untuk memetik mawar kepada pemilik kebun. Ia belum sempat memetiknya, namun dia bilang ke pemilik kebun bahwa dia membatalkan niatnya. Dia sempat berjanji untuk memetik bunga lain, bukan mawar. Pemuda itu pergi. Mawar masih tetap di sana, utuh bersama tangkainya.” Ayi tertunduk, Heru menatap cemas.

“Ayi, mawar tentu tidak bisa marah pada pemuda itu, tapi kamu berhak untuk marah padaku.”

“Kenapa?” Tanya Ayi sendu.

“Ada janji yang harus kupenuhi, menjemput seseorang.”

“Lalu kenapa kamu sempat datang padaku?”

“Karena aku menghargai tantemu, aku sungkan untuk  menolak.” Ayi terhenyak, lalu  menarik napas panjang.

“Jadi kamu menganggap pernikahan itu semain-main ini?” Ayi sudah tak pedulikan usia. Giginya gemeretak menahan amarah, “Pergilah.”

“Tapi kamu? Marah?”

“Besok datangi ayah, lakukan seperti yang pemuda itu lakukan. Sekarang tolong pergi.”

Farhan bangkit, Heru melengos. Jika tak peduli dengan Ayi, ingin rasanya menghajar pengecut itu.

“Ay…” ujar Heru hati hati.

“Makan yuk, laper nih.” Ayi menyuap makanan yang tak lagi hangat. Heru menurut. Sepasang mata memantau penuh rasa berdosa.

“Ketakutan gue akhirnya kejadian ya, Ru.” Ujar Ayi. Heru diam saja.

Ayi pulang diantar mobil Heru, masih saling terdiam. Setengah perjalanan, Ayi terisak.

“Setidaknya pemuda itu ga metik mawar hanya untuk dibuang. Gue cukup beruntung kan?” Tanyanya. Heru mengangguk saja.

“Sabar ya Ay, gue yakin orang baik kayak Lo mah jodohnya juga baik. Ikhlasin aja, awalnya juga kan Lo nerima dia karena ngikhlasin  orang lain juga, yang udah Lo suka dari lama bahkan.”

“Iya Ru, tapi gue mau nangis dulu ya. Sesek banget.”

“Iya nangislah. Sorry ye gue gak nawarin pundak gue, pasti Lo tolak juga kan.”

“Iya gak usah. Lebih nyaman kursi jok mobil kok.”

***

Sepasang tangan cekatan membengkel motor. wajahnya tetap bersih meski sebagian besar tubuhnya berlumuran oli. Ada langkah yang mendekat. Pemiliknya tertunduk, penuh dengan rasa khawatir.

“Assalamualaikum Bang.”

“Waalaikumussalam. Ah Farhan, ada perlu apa kemari tiba-tiba?” Kamal menyambut ramah.

“Bapak ada, Bang?”

“Wah kebetulan sedang tugas ke luar kota.”

“Pulangnya masih lama bang?”

“Baru saja berangkat tadi pagi. Besok atau lusa baru pulang sepertinya. Ada apa Han?”

“Hmm, itu Bang…” Farhan terlihat ragu.

“Ya sudah masuk dulu yuk.” Ajak Kamal bijak.

Farhan menatap berkeliling, ruangan ini sama dengan saat 4 bulan lalu iya pernah mengikat janji untuk berakad dengan gadis satu-satunya pemilik rumah ini. Keputusan yang sangat gegabah baginya. Menerima perjodohan dengan wanita asing demi kenaikan jabatan di tempat kerja. Jika ingat itu, dia merasa sangat malu karena telah begitu serakah mengejar dunia, mengorbankan perasaan dua wanita yang tanpa bisa memilih harus terlibat dalam kehidupannya.

Kamal menyuguhkan secangkir teh dingin. Farhan dengan hati-hati membuka percakapan, sehati-hati dia meletakkan kembali cangkir di atas tatakannya. Alis kamal berkerut, gigi gerahamnya beradu. Farhan sudah antisipasi jika dirinya harus menerima gamparan tiba-tiba. Namun sebelum itu terjadi, Ummi Salim muncul di tengah-tengah mereka.

“Kamal, kendalikan dirimu.” Ujarnya lembut. Kamal menoleh, melayangkan wajah tanya.

“Ayi sudah mengabari Umi tentang ini. Sudah, tidak ada yang perlu diributkan. Keluargamu sudah tahu?” Pertanyaan itu ditujukan kepada Farhan. Farhan mengangguk.

“Lalu?” Tanya umi lagi.

“Mereka marah besar dan tetap ingin melanjutkan pernikahan.”

“Hmmm. Pulanglah, urusan kamu dengan keluarga kami sudah usai. Perkara keluargamu, tangani risiko dari keputusan yang kamu ambil.” Ucap Umi, tegas tanpa amarah.

Tanpa bisa lagi bernego, Farhan pamit melangkahkan kaki, pulang. Jiwanya terseok seakan terbuang. Benaknya dipenuihi tanya mengapa. Mengapa atas semua keputusan yang diambilnya. Keputusan yang terlihat salah dari sudut manapun.

Bersambung….