Fiksi

Pesan

Aku terbangun, ada yang mengusap-usap perutku. Ah orang itu. Aku berniat menggigit jarinya sebelum mataku menangkap ada cairan bening yang mengalir dari matanya. Sekejap aku terdiam. Aku belum pernah diajari bagaimana menghadapi orang yang sedang sedih. Kudekati wajahnya, dia memelukku.

“Itu orang jahat banget ya?” Bisiknya lirih.

“Seberapa sering dia jahatin Ibu selama aku gak ada?” Tanyanya. Aku pura-pura tidur. Tangisnya berlanjut. Aku benar-benar tidur.

***

Setelah seharian penuh dengan makanan, akhirnya isi perutku mendesak keluar. Aku menggaruk garuk tanah, menimbun hasil buanganku agar tidak bau. Selesai. Aku melenggang lega, kembali ke rumah.

“Ih ko bau asem ya, Bu? Eja, kamu abis pup ya?” Sebuah suara menghentikan langkahku.

“Iya paling si Eja abis pup.” Jawab wanita yang satunya, yang lebih tua.

Aku menyeringai. Melanjutkan langkah. Suruh siapa pula nongkrong di situ. Eh tapi..

Aku putar-balikkan tubuhku. Sambil berpura-pura mengejar capung, aku kembali ke tempat anak-beranak tadi.

“Ibu engga apa-apa ko, Nak. Mau bagaimanapun dia, tetap aja kasih sayang Ibu ke anak itu gak akan luntur”. Kata Ibu. Aku ikut-ikutan memanggilnya ibu setelah dia menyelamatkanku saat tersangkut pada tali layangan di samping rumahnya.

“Tapi Abang tuh udah keterlaluan, Bu. Aku itu sampe gak percaya dia bisa teriak kayak gitu ke Ibu. Memangnya dia gak inget sedikitpun kasih sayang Ibu ke dia kayak gimana? Kurang ajar banget itu namanya.” Sahut Adek, anak bungsu Ibu.

“Engga apa-apa. Ibu selalu berdoa semoga Allah kasih kembali hidayah buat dia.”

“Aku sih doain dia cepet mati aja, daripada idupnya nabung dosa terus, kasian.” Suara Adek bergetar, antara geram. Aku mengendus ada tetesan kesedihan di sana.

Sejenak hening. Ibu mengusap-usap tangan Adik.

“Pokoknya, bulan depan Ibu pindah ke rumah aku. Mau ya Bu?”

“Suamimu? Tapi Ibu gak mau jual rumah ini.”

“Nanti aku bilang sama Bang Ray. Dia pasti bolehin Ibu tinggal di rumah kok. Tenang aja. Perkara rumah ini, nanti kita fikirkan belakangan.”

Adzan magrib memutus percakapan mereka. Mereka berjalan menuju rumah, aku menyusul.

***

Malam ini aku tidur di kamar Adik. Aku tidak akan naik ke atas kasur sebeum memastikan seluruh badanku bersih. Adik paling benci kalau aku mandi di atas kasur. Jorok katanya. Padahal menurutku itulah fungsinya mandi, agar tidak jorok. Entahlah, tapi aku menurut saja.

Dia baru memejamkan mata saat aku naik ke tempat tidur. Di sampingnya ada sebuah buku yang baru ia tulisi. Tangannya pun masih memegang spidol. Tak sengaja aku membaca beberapa bait. Penasaran, kusibak beberapa helai rambut yang menutupi tulisan itu.

Abang,

Kalau tidak bisa memberi, setidaknya jangan meminta

Kalau tidak bisa membantu, setidaknya jangan menyusahkan

Kalau tidak bisa berbakti, setidaknya jangan menyakiti

Sungguh, semua hal yang adik lihat pada diri abang adalah keburukan

Kalau maaf yang abang pinta, adik bisa kasih

Tapi abang tak pernah ucapkan itu

Kalau maklum yang abang pinta, adik tak bisa kasih

Semua sakit yang abang kasih ke Ibu, itu tak bisa dimaklumi

Abang,

Aku resign jadi adikmu

Aku muak lihat tingkah lakumu

Kalau besok kamu lihat jasadmu berdarah, anggap saja aku yang memegang pisau.

Kalau besok air minummu beracun, anggap saja aku yang menabur.

Kalau besok badanmu pegal dan lebam, anggap saja tanganku yang mengepal.

Besok ya, hanya berlaku besok.

Kalau kamu besok masih hidup, berarti malam ini aku tertidur pulas.

Aku terhenyak. Kulihat mata Adik benar-benar terpejam. Tapi nafasya masih seperti orang berfikir. Kulingkarkan tubuhku di atas perutnya, sambil berdoa semoga malam ini dia tertidur pulas.

Fiksi

Cerpen Horor

Kalau besok kamu lihat jasadmu berdarah, anggap saja aku yang memegang pisau.

Kalau besok air minummu beracun, anggap saja aku yang menabur.

Kalau besok badanmu pegal dan lebam, anggap saja tanganku yang mengepal.

Besok ya, hanya berlaku besok.

Kalau kamu besok masih hidup, berarti malam ini aku tertidur pulas.

Random

Engga Penting

Hai, aku lagi.

Jangan bosan denganku. Selama proses penyusunan laporan skripsi ini mungkin aku akan sering mengunjungimu. Penat euy. Nyatanya aku memang lebih suka bercerita padamu daripada menulis laporan. Lebih nyaman (eaak), simpel, dan tanpa revisi tentunya.

Oke, sudah cukup bermonolognya.

Kali ini saya akan menumpahkan kegregetan saya pada berita yang booming beberapa hari lalu. Maapkeun telat, awalnya gak minat buat ngebahas ini sih. Karena terlalu banyak kasus yang menyebalkan yang terjadi di sekitar kita, akhir-akhir ini saya jadi agak males buat ngikutin secara detail satu-satu. Kalo semuanya dibaperin dan dikepoin, kayaknya penyakit jantung gak akan jauh-jauh sih.

Oke, jadi ini tentang guru yang diadili dengan ketidak-adilan. Dari beberapa sumber (remember: just several source) yang saya baca, isinya sama: Guru diadili karena diduga melakukan suatu tindakan  kekerasan  untuk mendidik muridnya yang memang bandel adanya. Haha, sepertinya tulisan ini akan amat sangat berat sebelah.

Ya Allah, dicubit doang pake’ lapor polisi. Bayi juga kalo dicubit mereka gak sampe’ lapor polisi tuh, apalagi kalo alasan nyubitnya karena gemes. Lah ini?? Victim mentality banget loh ini. Pake’ pamer bekas cubitan segala. Bangga gitu? Padahal ya adek manis (-.-), dengan kamu bertingkah kayak gitu semua orang jadi tau kalo’ kamu itu lemah. Jadinya pada ngebully kamu kan? Kasiaaan… (pukpukpuk).

Adanya kasus ini mengingatkan saya pada alm. bapak, sebenarnya. Tahu kan gimana macemnya guru jaman dulu? G A L A K. Peringatan berupa fisik (kalau memang diperlukan) bukan hal tabu kala itu. Murid dan walinya juga paham kalau itu bukan bentuk kekerasan yang patut dilaporkan ke pihak berwajib. Toh guru juga engga akan mungkin nyuruh muridnya minum bensin terus nyalain korek kan? Jadi ya alhamdulillah bapak (dan guru-guru jaman baheula lainnya) engga sampe’ dibawa ke pengadilan, apalagi sampe’ dipenjara.

Kalo’ lihat berita-berita saat ini kadang bingung mau ngomong dan komentar apalagi. Sekarang itu sesuatu yang seharusnya benar kadang malah jadi abu-abu atau bahkan gelap tak terlihat. Ya entahlah ya karena faktor harta, tahta, atau yang lainnya. Jadi ya siap-siap aja sih buat generasi muda (yang masih waras tentunya) buat menghadapi kehidupan yang tak terduga nantinya. Mungkin kita akan menghadapi era kebalikan (inspired by Spongebob).

ps: Siapkan diri jadi orangtua yang cerdas dan pinter buat ngedidik anak. Siapa tahu beberapa tahun ke depan profesi guru sepi peminat.

Fiksi

Bukan Dia Tapi Dia (end)

hold my handSebelumnya…

Pertemuan Ayi dengan Farhan bukanlah hal yang baik. Keputusan Farhan untuk jujur membuatnya terusir dari dua sisi. Sedangkan Ayi, kesedihan tidak menghentikannya menjalani kehidupan.

***

Ayi keluar dari ruang sidang dengan wajah sumringah, menghambur memeluk Vera, sahabatnya. Heru juga ada di situ, tersenyum menghampiri.

“Alhamdulillah, akhirnya gue lulus.” Bibirnya tak berhenti merekah.

“Selamat ya, honey. Sisa gue sama si tukang eror ini nih. Doain kita ya .” Vera memasangkan selempang dan memberikan sebuket bunga.

“Selamat selamat. Wihiii, temen gue udah sarjana euy.” Heru heboh. Tangannya memegang buket besar penuh cemilan. “Nih, gue tahu Lo sukanya makanan.” Katanya tertawa. Ayi merenggut.

“Bunga udah, makanan udah, tinggal yang ngasih cincin nih.” Gurau Ayi sekenanya.

“Ada kok adaaa…” Balas Heru tertawa.

Ketiganya berfoto, tertawa, bercakap bahagia. Vera sedikit gelisah. Matanya berkali melayangkan tanya pada Heru. Sayangnya Heru hanya mengangkat bahu.

“Oiya, lo belum ngasih tahu ortu bukannya Ay?” Vera mengingatkan. Ayi kaget, baru sadar. Dia melipir menelepon umminya. Vera menarik lengan baju Heru.

“Mana?” Bisik Vera. Heru menggelengkan kepala, sama-sama bingung.

“Telepon cepet, mumpung Ayi gak ngeh.”

“Hape gue mati cuy. Kalo ada mah gue udah telepon dari tadi.” Heru ngedumel.

“Nomornya lo inget?” Kejar Vera. Wajahnya meredup seiring dengan gelengan kepala makhluk di depannya. Jempolnya segera beraksi di layar pencarian. Ketemu. Ditekannya tombol call.

“Assalamualaikum, Ka.” Vera menjauh saat dilihatnya Ayi selesai menelepon.

“Siapa?” tanya Ayi pada Heru.

“Entah, temennya mungkin.” Heru berbohong. Ayi mengangguk.

“Assalamualaikum…” Sebuah suara muncul di belakang Ayi.

“Waalaikumussalam.” Ayi menoleh kaget. Heru pura-pura bengong. Vera pasang tampang polos.

“Selamat ya Rayihana S.TP. Ini cincinnya.” Dia mengangsurkan sebuah kotak merah kecil. Ayi menerimanya, bengong.

“Kalo saya ngajak kamu buat bareng-bareng gapai ridho Allah, buat dapetin surga-Nya, kamu gak akan nolak kan?” Tanyanya dengan senyuman. Ayi merasa dirinya sudah lebih dulu melayang-layang menuju surga.

“Yaudah, jawabnya nanti aja. Nomor saya ada di Heru kok. Vera juga punya. Itu kotaknya dibuka aja. Isinya asli kok. Saya pergi dulu ya. Wassalamualaikum.” Pamitnya lalu melangkah menjauh, santai.

“Guys, apakah gue baru saja dilamar?” Ayi berbalik pada teman-temannya.

“Tidak. Lo baru saja dikasih cincin sama pujaan Lo, dan Lo cuma cengo.” Heru gemas.

“Hihi, iya Beb. Selamat ya. Akhirnya mimpi lo terwujud juga. Bunga, makanan, dan ini cincinnya. Dari Kak Ikmal pula. Wah, nikmat Tuhan mana lagi yang Lo dustakan Ay.” Ujar Vera ceriwis.

“Tapi kok dia bisa ta..?” Kalimatnya tak selesai. “Aish, ini kerjaan kalian?” Ayi tersadar. Heru Vera membusungkan dada bangga. Ayi menjitak kepala keduanya.

-Tamat-